PERLUKAH KURIKULUM 2013 DIRUBAH?
![]() |
http://jatimtoday.com |
A. Pengembangan
Kurikulum
Pengembangan
kurikulum dalam dunia pendidikan tidak dapat dipisahkan, karena setiap lembaga
pendidikan menginginkan organisasinya mengalami perkembangan yang pesat,
sehingga dapat menarik banyak minat dari kalangan pendidik, serta pesatnya input
yang dihasilkan oleh lembaga tersebut. Pesatnya suatu lembaga pendidikan diukur
dari bagaimana kepala sekolah dan guru dapat mengelola organisasi sekolah
secara efektif dan efisien. Salah satu hal terpenting yang harus dikelola secara efektif
dan efisien adalah pengembangan kurikulum.
![]() |
http://assets.kompas.com |
Kurikulum
pendidikan yang tidak sesuai dengan tuntutan sosial, tidak sesuai lagi
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan juga tidak sesuai dengan
dunia kerja, maka jelas kurikulum tersebut akan menimbulkan persoalan,
khususnya bagi siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan sistem kurikulum
tersebut. Berdasarkan pemahaman tersdebut, maka suatu kurikulum perlu dirubah,
dikembangkan, dan diperbaruhi,
Kurikulum
yang telah “usang” korbannya bukan hanya terletak pada peserta didik saja, tapi
dampak negatifnya akan dialami lembaga atau organisasi sekolah yang
menerapkannya. Sekolah akan mengalami keterketinggalan ilmu pengetahuan dan
teknologi sehingga akan sulit mewujudkan tujuan nasional yang telah
direncanakan pada sebelumnya.
Kurikulum
pendidikan harus bersifat dinamis, senantiasa berubah menyesuaikan dengan kondisi
tuntutan kemajuan zaman, sehingga dapat memantapkan proses dan hasil pembelajaran.
Namun, istilah perubahan dalam hal ini bukan berarti menghapus kurikulum
sebelumnya sepenuhnya, akan tetapi menyempurnakan dan mengembangkannya.
2. Sentralisasi dan desentralisasi kurikulum
Mantan
menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada era Orde Baru, Fuad Hasan, pernah
mengemukakan bahwa merupakan suatu hal yang tidak mungkin diterapkannya
kurikukulum yang baku (sentralisasi) di seluruh Indonesia, karena setiap daerah
mempunyai potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang berbeda. Dengan perbedaan
potensi tersebut, setiap daerah diharapkan dapat mengembang-kan dan mengelola
sumberdayanya sesuai dengan potensinya masing-masing, di mana potensi-potensi
tersebut dapat diintegrasikan dalam kurikulum muatan lokal. Dengan diberikannya
kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan dan mengelola potensi daerah
masing-masing, diharapkan dapat membangun wilyahnya sendiri, yang salah satunya
dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas lulusan sekolah yang siap
membangun daerah dan lingkungannya sendiri.
Berkaitan
dengan pernyataan tersebut, Winarno Surachtmad mengemukakan, bahwa sebenarnya
Indonesia hingga masa pemerintahan Orde Baru tidak pernah menerapkan kurikulum yang
fleksibel. Kurikulum yang diberlakukan di sekolah hanya satu dan terpusat,
sehingga faktor daerah seringkali kurang diperhatikan. Di dalam pengelolaannya,
sentralisasi kurikulum seharusnya dihindari dan seharusnya desentralisasi
kurikulum diterapkan seoptimal mungkin. Untuk menuju kurikulum yang berbasis
desentralisasi tersebut diperlukan upaya pengembangan kurikulum.
Tingkat
kematangan siswa pun menjadi alasan perlunya pengembangan kurikulum, karena
setiap peserta didik mempunyai tingkat pemahaman dan penalaran yang berbeda.
Jika kurikulum pendidikan tidak berusaha disesuaikan dengan tingkat kemampuan peserta
didik, maka tujuan pembelajaran akan sulit tercapai. Untuk itu para pakar
pengembang kurikulum membuat suatu pemikiran agar anak dapat belajar dengan
baik, memperoleh ilmu pengetahuan, merubah sikap, dan memperoleh pengalaman,
dengan cara mengembangkan kurikulum yang berdasarkan azas psikologi peserta
didik.
B. Perubahan Kurikulum
Mengapa
kurikulum harus berubah? demikian pertanyaan yang kerapkali dilontarkan orang
ketika menanggapi terjadinya perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia.
Jawabannya pun sangat beragam, bergantung pada persepsi dan tingkat
pemahamannya masing-masing. Sepanjang sejarahnya, Indonesia telah mengalami
beberapa kali perubahan hingga ada kesan di masyarakat bahwa “ganti menteri,
ganti kurikulum”.
Perubahan
kurikulum pada dasarnya memang dibutuhkan manakala kurikulum yang berlaku (current
curriculum) dipandang sudah tidak efektif dan tidak relevan lagi dengan
tuntutan dan perkembangan jaman dan setiap perubahan akan mengandung resiko dan
konsekuensi tertentu.
Perubahan
kurikulum yang berskala nasional memang seringkali mengundang sejumlah
pertanyaan dan perdebatan, mengingat dampaknya yang sangat luas serta
mengandung resiko yang sangat besar, apalagi kalau perubahan itu dilakukan
secara tiba-tiba dan dalam waktu yang singkat serta tanpa dasar yang jelas.
Namun
dalam konteks Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), perubahan
kurikulum untuk tingkat sekolah justru perlu dilakukan secara terus menerus. Dalam
hal ini, perubahan tentunya tidak harus dilakukan secara radikal dan
menyeluruh, namun bergantung kepada data hasil evaluasi. Mungkin cukup hanya
satu atau beberapa aspek saja yang perlu dirubah. Demikian pula halnya dengan
pemberlakuan Kurikulum 2013 (K-13).
Kita
maklumi bahwa semenjak pertama kali K-13 diberlakukan, kegiatan pengembangan
kurikulum di sekolah sangat mungkin diawali dengan “keterpaksaan” demi mematuhi
ketentuan yang berlaku. Sehingga model yang dikembangkan mungkin saja belum
sepenuhnya menggambarkan kebutuhan dan kondisi nyata sekolah. Oleh karena itu,
untuk memperoleh model kurikulum yang sesuai, tentunya dibutuhkan perbaikan–perbaikan
yang dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan berdasarkan hasil evaluasinya,
hingga pada akhirnya dapat ditemukan model kurikulum yang lebih sesuai dengan
karakteristik dan kondisi nyata sekolah saat ini dan masa yang akan datang.
![]() |
http://zulmasri.files.wordpress.com |
Justru
akan menjadi sesuatu yang aneh dan janggal, kalau saja suatu sekolah semenjak
awal memberlakukan K-13, namun selanjutnya tidak pernah melakukan
perubahan-perubahan apapun. Hampir bisa dipastikan sekolah yang demikian, sama
sekali tidak menunjukkan perkembangan alias stagnan.
Oleh
karena itu, dalam rangka menemukan model kurikulum yang sesuai di sekolah,
seyogyanya di sekolah dibentuk tim pengembang kurikulum tingkat sekolah yang
bertugas untuk mengelola kurikulum di sekolah yang bersangkutan. Memang saat
ini, di sekolah-sekolah sudah ditunjuk petugas khusus yang menangani kurikulum
(biasanya dipegang oleh wakasek kurikulum). Namun pada umumnya mereka cenderung
disibukkan dengan tugas-tugas yang lebih banyak bersifat rutin dan teknis,
seperti membuat jadwal pelajaran, melaksanakan ulangan umum atau kegiatan yang
bersifat rutin lainnya. Usaha untuk mendesain, mengimplementasikan, dan
mengevaluasi, serta mengembangan kurikulum yang lebih inovatif tampaknya kurang
begitu diperhatikan.
C. Landasan Pengembangan
Kurikulum 2013
Pada
gagasan awal pengembangan Kurikulum 2006 (KTSP) menjadi Kurikulum 2013 (K-13),
terdapat tiga hal yang melandasinya, yaitu aspek filosofis, aspek yuridis, dan
aspek konseptual.
Dari
ketiga aspek ang menjadi pertimbangan dikembangkannya kurikulum 2013 tersebut,
setidaknya dihasilkan perubahan pada tiga elemen, yaitu: (1) elemen kompetensi
lulusan, adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills yang
meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan; (2) elemen
kedudukan mata pelajaran dari yang semula “kompetensi diturunkan dari mata pelajaran”
berubah menjadi “mata pelajaran dikembangkan dari kompetensi”, serta (3) elemen
pendekatan dimana kompetensi untuk SD dikembangkan melalui pendekatan tematik
integratif dalam semua mata pelajaran, kompetensi untuk SMP dikembangkan
melalui mata pelajaran, kompetensi untuk SMA dikembangan melalui mata pelajaran
wajib dan pilihan, serta kompetensi untuk SMK dikembangkan melalui mata
pelajaran wajib, pilihan, dan vokasional.
Berkaitan
dengan elemen pendekatan (standar isi), jumlah mata pelajaran peserta didik
lebih sedikit, tetapi jumlah jam bertambah menjadi lebih panjang (bisa berarti
anak sekolah pulang lebih siang atau menjelang sore hari), sementara untuk
jenjang SMK ada pengurangan untuk mata pelajaran kelompok normatif-adaptif,
sedangkan kelompok produktif bertambah.
Elemen
lain yang juga mengalami perubahan pada kurikulum 2013 ini adalah elemen
standar proses, dimana semua siswa (mulai SD sampai SMA/SMK) harus memiliki
kemampuan untuk mengamati, bertanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, bahkan
sampai menciptakan. Di sini belajar tidak hanya terjadi di dalam kelas, tapi
juga bisa di luar kelas seperti perpustakaan, bengkel sekolah, industri/instansi
terkait, dan bahkan masyarakat sekitar. Guru bukan satu-satunya sumber belajar,
tapi juga dapat diperoleh dari buku, koran, TV, radio, internet. Dan sikap
(attitude) tidak diajarkan secara verbal, tetapi siswa akan lebih banyak
melihat dari apa yang dicontohkan oleh guru dengan memberikan suri tauladan
yang baik.
Demikian
pula halnya dengan elemen standar penilaian. Jika biasanya nilai diambil dari
sebuah tes/ujian, maka dalam kurikulum 2013 diubah menjadi penilaian yang
otentik (mengukur semua kompetensi mulai dari sikap, ketrampilan, dan
pengetahuan berdasarkan proses dan hasil kerja). Setiap siswa memiliki semua
rekaman kegiatan berupa portofolio yang dibuat oleh siswa sendiri sebagai
instrumen utama penilaian.
D. Persoalan-persoalan yang Dihadapi dalam Implementasi Kurikulum 2013
Jika
menyimak landasan dari gagasan dikembangkannya kurikulum 2013 serta elemen-elemen
dasar perubahannya, terlihat begitu ideal sebagai suatu upaya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Benarkah dengan diberlakukannya
kurikulum 2013 tersebut saat ini dapat memacu peningkatan kualitas pendidikan
di Indonesia?
Tampaknya
cukup sulit untuk menjawab “ya”. Alasannya, mari kita tinjau salah satu elemen
yang menjadi fokus perhatian dari kurikulum 2013 ini, yaitu siswa.
Di
dalam kurikulum tersebut, siswa yang menjadi “penerima perlakuan” (object of
treatment) harus memiliki kemampuan untuk mengamati, bertanya, mengolah,
menyajikan, menyimpulkan, bahkan sampai menciptakan. Persoalan-nya, sudahkah siswa-siswa
kita memiliki kemampuan-kemampuan tersebut agar siap menerima perlakuan
pembelajaran berdasarkan kurikulum ini?
Jika
kita mau mengakui sejujurnya, sebagian besar masyarakat kita, khususnya
siswa-siswa kita hingga saat ini belum memiliki kesiapan untuk melakukan semua
itu tanpa adanya tuntunan dari guru. Kemampuan mereka mengeksplorasi dan
mengeksploitasi ilmu dan pengetahuan masih membutuhkan tuntunan, penjelasan,
ajakan, arahan, bahkan “paksaan” dari guru.
Ketika
alasan itu dikemukakan, muncul pula pertanyaan lanjutan: “Jika tidak mencoba
untuk melakukan perlakuan (berdasarkan kurikulum 2013) itu saat ini dan
menunggu para siswa kita siap, kapan mereka akan bisa siap?” Pertanyaan ini pun
memang beralasan, jika kita tidak mulai merubah dari sekarang, hal yang
dikhawatirkan adalah kita akan semakin jauh tertinggal dari kemajuan peradaban
bangsa lain di dunia ini.
Akan
tetapi ada hal yang harus disadari, bahwa untuk melakukan suatu perubahan yang
positif bagi kemajuan bangsa kita, khususnya dalam dunia pendidikan, yaitu
bahwa siswa sebagai peserta didik mempunyai tingkat pemahaman dan penalaran yang
berbeda dan memerlukan tahap-tahap pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan
“alami”-nya. Sehingga, apabila gagsan-gagasan dalam kurikulum 2013 yang cukup
ideal itu akan diterapkan, perlu ditunjang oleh kesiapan tenaga pendidik dan
kependidikan yang telah “mumpuni” dan menguasai benar implementasi kurikulum
tersebut. Di samping itu, fasilitas penunjang pendidikan pun, baik infrastruktur
maupun suprastruktur pendidikan, harus terpenuhi seluruhnya secara merata di
semua sekolah di Indonesia, tidak hanya di sekolah-sekolah negeri dan sekolah
favorit, serta tidak hanya sebatas sekolah-sekolah di lingkungan perkotaan,
tetapi juga harus sampai ke setiap pelosok daerah, termasuk daerah-daerah
terpencil.
Persoalan
yang muncul ketika kurikulum 2013 ini diberlakuan secara menyeluruh di
Indonesia, sudah terpenuhikah seluruh kebutuhan akan tenaga pendidik dan
kependidikan yang “mumpuni” serta failitas penunjang pendidikan yang diperlukan
di setiap sekolah yang ada di Indonesia sebagaimana dituntut dalam kurikulum
2013?
Persoalan
lain yang muncul adalah bahwa dalam sistem penilaian pada kurikulum 2013 yang
menuntut terjadinya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard
skills yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan
dilakukan melalui sistem penilaian yang cukup kompleks, meliputi (1) penilaian
sikap spiritual dan sosial dengan menerapkan penilaian observasi, penilaian
diri, penilaian antar teman, dan jurnal; (2) penilaian pengetahuan; dan
(3) penilaian keterampilan melalui penilaian praktek, penilaian proyek,
dan penilaian potofolio.
Seluruh
penilaian ini harus dilaksanakan oleh seorang guru terhadap setiap individu
siswanya setiap proses tatap muka berlangsung. Jika benar-benar sistem
penilaian ini diterapkan secara objektif dan ideal, maka secara arsional setiap
guru tidak akan mampu melakukan penilaian terhadap siswa yang banyak.
Sementara, jumlah siswa dalam setiap kelas di sekolah-sekolah di Indonesia
umumnya lebih dari 30 orang siswa untuk tingkat SD atau lebih dari 40 orang
untuk tingkat SMP/SMA/SMK.
Dengan
adanya persoalan-persoalan tersebut, tampaknya pemberlakuan kurikulum 2013 di
Indonesia saat ini perlu ditinjau kembali dari semua segi, baik kesiapan
sumberdaya manusianya (siswa, tenaga pendidik dan kependidikan, manajemen, dan
komponen sekolah lainnya) maupun sumberdaya lainnya (fasilitas, sarana, dan
prasarana). Hal lain yang perlu menjadi catatan dan perhatian adalah:
1. Kurikulum
bukan sekedar proyek masing masing menteri Pendidikan dan Kebudayan yang setiap
ganti menteri harus ganti kurikulum. Kurikulum adalah jantung dari pendidikan
itu sendiri, seyogyanya kurikulum yang sudah berjalan dan telah memiliki nilai
plus seperti kurikulum 2006 ini diperbaiki bukan dirombak.
2. Kurikulum
ini merupakan “megaproyek” dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang
memakan dana APBN sebesar 2,49 Trilyun rupiah,. Lebih dari 50 % nya dialokasikan
untuk pengadaan buku. Di sinilah harus ada kehati-hatian dan pengawasan yang
ketat, pengadaan buku merupakan lahan basah yang sangat rawan menimbulkan “korupsi”.
3. Kalaupun
memang harus mengubah kurikulm yang ada, sebaikanya kurikulum yang baru ini
didahuli dengan pengujian dan evaluasi dalam rentang waktu yang rasional, dilanjutkan
dengan mempersiapkan sumberdaya manusia sebagai pelaksananya serta sumberdaya
pendukung lainnya. Jika semua itu telah siap, barulah kurikulum yang telah
diuji dan dievaluasi tersebut diberlakukan secara menyeluruh.
Bahkan
akan lebih baik apabila kurikulum yang akan diberlakukan pada “tahun ini” telah
dipersiapkan jauh sebelum pemberlakuannya. Misalnya, kurikulum pendidikan dasar
dan menengah yang akan diberlakukan mulai tahun 2020 dipersiapkan sejak
sekarang dengan terlebih dahulu menguji dan mengevaluasinya, serta menyiapkan
pembinaan bagi calon-calon gurunya (mahasiswa kependidikan) melalui serangkaian
perkualiahan berkaitan dengan implementasi kurikulum 2020 yang akan
diberlakukan nantinya yang biasanya dapat memakan waktu 4 sampai 5 tahun.
Sehingga ketika mereka lulus kuliah, setidaknya mereka telah memiliki
penguasaan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan khusus dalam penerapan kurikulum
2020 tersebut.
“Pendidikan
jangan sampai hanya terbelenggu dengan kurikulum, wujudkan kembali kurikulum
sesuai konstitusi yang ada yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan hanya
mengikuti permintaan pasar”