Senin, 22 Desember 2014

Perubahan Kurikulum



PERLUKAH KURIKULUM 2013 DIRUBAH?

http://jatimtoday.com

A. Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dalam dunia pendidikan tidak dapat dipisahkan, karena setiap lembaga pendidikan menginginkan organisasinya mengalami perkembangan yang pesat, sehingga dapat menarik banyak minat dari kalangan pendidik, serta pesatnya input yang dihasilkan oleh lembaga tersebut. Pesatnya suatu lembaga pendidikan diukur dari bagaimana kepala sekolah dan guru dapat mengelola organisasi sekolah secara efektif dan efisien. Salah satu hal terpenting yang harus dikelola secara efektif dan efisien adalah pengembangan kurikulum.
1. Kurikulum yang “konservatif”
http://assets.kompas.com
Kurikulum pendidikan yang tidak sesuai dengan tuntutan sosial,  tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan juga tidak sesuai dengan dunia kerja, maka jelas kurikulum tersebut akan menimbulkan persoalan, khususnya bagi siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan sistem kurikulum tersebut. Berdasarkan pemahaman tersdebut, maka suatu kurikulum perlu dirubah, dikembangkan, dan diperbaruhi,
Kurikulum yang telah “usang” korbannya bukan hanya terletak pada peserta didik saja, tapi dampak negatifnya akan dialami lembaga atau organisasi sekolah yang menerapkannya. Sekolah akan mengalami keterketinggalan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga akan sulit mewujudkan tujuan nasional yang telah direncanakan pada sebelumnya.
Kurikulum pendidikan harus bersifat dinamis, senantiasa berubah menyesuaikan dengan kondisi tuntutan kemajuan zaman, sehingga dapat memantapkan proses dan hasil pembelajaran. Namun, istilah perubahan dalam hal ini bukan berarti menghapus kurikulum sebelumnya sepenuhnya, akan tetapi menyempurnakan dan mengembangkannya.
2. Sentralisasi dan desentralisasi  kurikulum
Mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada era Orde Baru, Fuad Hasan, pernah mengemukakan bahwa merupakan suatu hal yang tidak mungkin diterapkannya kurikukulum yang baku (sentralisasi) di seluruh Indonesia, karena setiap daerah mempunyai potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang berbeda. Dengan perbedaan potensi tersebut, setiap daerah diharapkan dapat mengembang-kan dan mengelola sumberdayanya sesuai dengan potensinya masing-masing, di mana potensi-potensi tersebut dapat diintegrasikan dalam kurikulum muatan lokal. Dengan diberikannya kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan dan mengelola potensi daerah masing-masing, diharapkan dapat membangun wilyahnya sendiri, yang salah satunya dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas lulusan sekolah yang siap membangun daerah dan lingkungannya sendiri.
Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Winarno Surachtmad mengemukakan, bahwa sebenarnya  Indonesia hingga masa pemerintahan Orde Baru tidak pernah menerapkan kurikulum yang fleksibel. Kurikulum yang diberlakukan di sekolah hanya satu dan terpusat, sehingga faktor daerah seringkali kurang diperhatikan. Di dalam pengelolaannya, sentralisasi kurikulum seharusnya dihindari dan seharusnya desentralisasi kurikulum diterapkan seoptimal mungkin. Untuk menuju kurikulum yang berbasis desentralisasi tersebut diperlukan upaya pengembangan kurikulum.
3. Tingkat kematangan siswa

http://2.bp.blogspot.com
Tingkat kematangan siswa pun menjadi alasan perlunya pengembangan kurikulum, karena setiap peserta didik mempunyai tingkat pemahaman dan penalaran yang berbeda. Jika kurikulum pendidikan tidak berusaha disesuaikan dengan tingkat kemampuan peserta didik, maka tujuan pembelajaran akan sulit tercapai. Untuk itu para pakar pengembang kurikulum membuat suatu pemikiran agar anak dapat belajar dengan baik, memperoleh ilmu pengetahuan, merubah sikap, dan memperoleh pengalaman, dengan cara mengembangkan kurikulum yang berdasarkan azas psikologi peserta didik.

B. Perubahan Kurikulum
Mengapa kurikulum harus berubah? demikian pertanyaan yang kerapkali dilontarkan orang ketika menanggapi terjadinya perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia. Jawabannya pun sangat beragam, bergantung pada persepsi dan tingkat pemahamannya masing-masing. Sepanjang sejarahnya, Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan hingga ada kesan di masyarakat bahwa “ganti menteri, ganti kurikulum”.
Perubahan kurikulum pada dasarnya memang dibutuhkan manakala kurikulum yang berlaku (current curriculum) dipandang sudah tidak efektif dan tidak relevan lagi dengan tuntutan dan perkembangan jaman dan setiap perubahan akan mengandung resiko dan konsekuensi tertentu.
Perubahan kurikulum yang berskala nasional memang seringkali mengundang sejumlah pertanyaan dan perdebatan, mengingat dampaknya yang sangat luas serta mengandung resiko yang sangat besar, apalagi kalau perubahan itu dilakukan secara tiba-tiba dan dalam waktu yang singkat serta tanpa dasar yang jelas.
Namun dalam konteks Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), perubahan kurikulum untuk tingkat sekolah justru perlu dilakukan secara terus menerus. Dalam hal ini, perubahan tentunya tidak harus dilakukan secara radikal dan menyeluruh, namun bergantung kepada data hasil evaluasi. Mungkin cukup hanya satu atau beberapa aspek saja yang perlu dirubah. Demikian pula halnya dengan pemberlakuan Kurikulum 2013 (K-13).
Kita maklumi bahwa semenjak pertama kali K-13 diberlakukan, kegiatan pengembangan kurikulum di sekolah sangat mungkin diawali dengan “keterpaksaan” demi mematuhi ketentuan yang berlaku. Sehingga model yang dikembangkan mungkin saja belum sepenuhnya menggambarkan kebutuhan dan kondisi nyata sekolah. Oleh karena itu, untuk memperoleh model kurikulum yang sesuai, tentunya dibutuhkan perbaikan–perbaikan yang dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan berdasarkan hasil evaluasinya, hingga pada akhirnya dapat ditemukan model kurikulum yang lebih sesuai dengan karakteristik dan kondisi nyata sekolah saat ini dan masa yang akan datang.
http://zulmasri.files.wordpress.com

Justru akan menjadi sesuatu yang aneh dan janggal, kalau saja suatu sekolah semenjak awal memberlakukan K-13, namun selanjutnya tidak pernah melakukan perubahan-perubahan apapun. Hampir bisa dipastikan sekolah yang demikian, sama sekali tidak menunjukkan perkembangan alias stagnan.
Oleh karena itu, dalam rangka menemukan model kurikulum yang sesuai di sekolah, seyogyanya di sekolah dibentuk tim pengembang kurikulum tingkat sekolah yang bertugas untuk mengelola kurikulum di sekolah yang bersangkutan. Memang saat ini, di sekolah-sekolah sudah ditunjuk petugas khusus yang menangani kurikulum (biasanya dipegang oleh wakasek kurikulum). Namun pada umumnya mereka cenderung disibukkan dengan tugas-tugas yang lebih banyak bersifat rutin dan teknis, seperti membuat jadwal pelajaran, melaksanakan ulangan umum atau kegiatan yang bersifat rutin lainnya. Usaha untuk mendesain, mengimplementasikan, dan mengevaluasi, serta mengembangan kurikulum yang lebih inovatif tampaknya kurang begitu diperhatikan.

C. Landasan Pengembangan Kurikulum 2013
Pada gagasan awal pengembangan Kurikulum 2006 (KTSP) menjadi Kurikulum 2013 (K-13), terdapat tiga hal yang melandasinya, yaitu aspek filosofis, aspek yuridis, dan aspek konseptual. 
Dari ketiga aspek ang menjadi pertimbangan dikembangkannya kurikulum 2013 tersebut, setidaknya dihasilkan perubahan pada tiga elemen, yaitu: (1) elemen kompetensi lulusan, adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan; (2) elemen kedudukan mata pelajaran dari yang semula “kompetensi diturunkan dari mata pelajaran” berubah menjadi “mata pelajaran dikembangkan dari kompetensi”, serta (3) elemen pendekatan dimana kompetensi untuk SD dikembangkan melalui pendekatan tematik integratif dalam semua mata pelajaran, kompetensi untuk SMP dikembangkan melalui mata pelajaran, kompetensi untuk SMA dikembangan melalui mata pelajaran wajib dan pilihan, serta kompetensi untuk SMK dikembangkan melalui mata pelajaran wajib, pilihan, dan vokasional.
Berkaitan dengan elemen pendekatan (standar isi), jumlah mata pelajaran peserta didik lebih sedikit, tetapi jumlah jam bertambah menjadi lebih panjang (bisa berarti anak sekolah pulang lebih siang atau menjelang sore hari), sementara untuk jenjang SMK ada pengurangan untuk mata pelajaran kelompok normatif-adaptif, sedangkan kelompok produktif bertambah.
Elemen lain yang juga mengalami perubahan pada kurikulum 2013 ini adalah elemen standar proses, dimana semua siswa (mulai SD sampai SMA/SMK) harus memiliki kemampuan untuk mengamati, bertanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, bahkan sampai menciptakan. Di sini belajar tidak hanya terjadi di dalam kelas, tapi juga bisa di luar kelas seperti perpustakaan, bengkel sekolah, industri/instansi terkait, dan bahkan masyarakat sekitar. Guru bukan satu-satunya sumber belajar, tapi juga dapat diperoleh dari buku, koran, TV, radio, internet. Dan sikap (attitude) tidak diajarkan secara verbal, tetapi siswa akan lebih banyak melihat dari apa yang dicontohkan oleh guru dengan memberikan suri tauladan yang baik.
Demikian pula halnya dengan elemen standar penilaian. Jika biasanya nilai diambil dari sebuah tes/ujian, maka dalam kurikulum 2013 diubah menjadi penilaian yang otentik (mengukur semua kompetensi mulai dari sikap, ketrampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil kerja). Setiap siswa memiliki semua rekaman kegiatan berupa portofolio yang dibuat oleh siswa sendiri sebagai instrumen utama penilaian.

D. Persoalan-persoalan yang Dihadapi dalam Implementasi Kurikulum 2013
Jika menyimak landasan dari gagasan dikembangkannya kurikulum 2013 serta elemen-elemen dasar perubahannya, terlihat begitu ideal sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Benarkah dengan diberlakukannya kurikulum 2013 tersebut saat ini dapat memacu peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia?
Tampaknya cukup sulit untuk menjawab “ya”. Alasannya, mari kita tinjau salah satu elemen yang menjadi fokus perhatian dari kurikulum 2013 ini, yaitu siswa.
Di dalam kurikulum tersebut, siswa yang menjadi “penerima perlakuan” (object of treatment) harus memiliki kemampuan untuk mengamati, bertanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, bahkan sampai menciptakan. Persoalan-nya, sudahkah siswa-siswa kita memiliki kemampuan-kemampuan tersebut agar siap menerima perlakuan pembelajaran berdasarkan kurikulum ini?
Jika kita mau mengakui sejujurnya, sebagian besar masyarakat kita, khususnya siswa-siswa kita hingga saat ini belum memiliki kesiapan untuk melakukan semua itu tanpa adanya tuntunan dari guru. Kemampuan mereka mengeksplorasi dan mengeksploitasi ilmu dan pengetahuan masih membutuhkan tuntunan, penjelasan, ajakan, arahan, bahkan “paksaan” dari guru.
Ketika alasan itu dikemukakan, muncul pula pertanyaan lanjutan: “Jika tidak mencoba untuk melakukan perlakuan (berdasarkan kurikulum 2013) itu saat ini dan menunggu para siswa kita siap, kapan mereka akan bisa siap?” Pertanyaan ini pun memang beralasan, jika kita tidak mulai merubah dari sekarang, hal yang dikhawatirkan adalah kita akan semakin jauh tertinggal dari kemajuan peradaban bangsa lain di dunia ini.
Akan tetapi ada hal yang harus disadari, bahwa untuk melakukan suatu perubahan yang positif bagi kemajuan bangsa kita, khususnya dalam dunia pendidikan, yaitu bahwa siswa sebagai peserta didik mempunyai tingkat pemahaman dan penalaran yang berbeda dan memerlukan tahap-tahap pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan “alami”-nya. Sehingga, apabila gagsan-gagasan dalam kurikulum 2013 yang cukup ideal itu akan diterapkan, perlu ditunjang oleh kesiapan tenaga pendidik dan kependidikan yang telah “mumpuni” dan menguasai benar implementasi kurikulum tersebut. Di samping itu, fasilitas penunjang pendidikan pun, baik infrastruktur maupun suprastruktur pendidikan, harus terpenuhi seluruhnya secara merata di semua sekolah di Indonesia, tidak hanya di sekolah-sekolah negeri dan sekolah favorit, serta tidak hanya sebatas sekolah-sekolah di lingkungan perkotaan, tetapi juga harus sampai ke setiap pelosok daerah, termasuk daerah-daerah terpencil.
Persoalan yang muncul ketika kurikulum 2013 ini diberlakuan secara menyeluruh di Indonesia, sudah terpenuhikah seluruh kebutuhan akan tenaga pendidik dan kependidikan yang “mumpuni” serta failitas penunjang pendidikan yang diperlukan di setiap sekolah yang ada di Indonesia sebagaimana dituntut dalam kurikulum 2013?
Persoalan lain yang muncul adalah bahwa dalam sistem penilaian pada kurikulum 2013 yang menuntut terjadinya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan dilakukan melalui sistem penilaian yang cukup kompleks, meliputi (1) penilaian sikap spiritual dan sosial dengan menerapkan penilaian observasi, penilaian diri, penilaian antar teman, dan jurnal; (2) penilaian pengetahuan; dan (3) penilaian keterampilan melalui penilaian praktek, penilaian proyek, dan penilaian potofolio.
Seluruh penilaian ini harus dilaksanakan oleh seorang guru terhadap setiap individu siswanya setiap proses tatap muka berlangsung. Jika benar-benar sistem penilaian ini diterapkan secara objektif dan ideal, maka secara arsional setiap guru tidak akan mampu melakukan penilaian terhadap siswa yang banyak. Sementara, jumlah siswa dalam setiap kelas di sekolah-sekolah di Indonesia umumnya lebih dari 30 orang siswa untuk tingkat SD atau lebih dari 40 orang untuk tingkat SMP/SMA/SMK.
Dengan adanya persoalan-persoalan tersebut, tampaknya pemberlakuan kurikulum 2013 di Indonesia saat ini perlu ditinjau kembali dari semua segi, baik kesiapan sumberdaya manusianya (siswa, tenaga pendidik dan kependidikan, manajemen, dan komponen sekolah lainnya) maupun sumberdaya lainnya (fasilitas, sarana, dan prasarana). Hal lain yang perlu menjadi catatan dan perhatian adalah:
1. Kurikulum bukan sekedar proyek masing masing menteri Pendidikan dan Kebudayan yang setiap ganti menteri harus ganti kurikulum. Kurikulum adalah jantung dari pendidikan itu sendiri, seyogyanya kurikulum yang sudah berjalan dan telah memiliki nilai plus seperti kurikulum 2006 ini diperbaiki bukan dirombak.
2. Kurikulum ini merupakan “megaproyek” dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang memakan dana APBN sebesar 2,49 Trilyun rupiah,. Lebih dari 50 % nya dialokasikan untuk pengadaan buku. Di sinilah harus ada kehati-hatian dan pengawasan yang ketat, pengadaan buku merupakan lahan basah yang sangat rawan menimbulkan “korupsi”.
3. Kalaupun memang harus mengubah kurikulm yang ada, sebaikanya kurikulum yang baru ini didahuli dengan pengujian dan evaluasi dalam rentang waktu yang rasional, dilanjutkan dengan mempersiapkan sumberdaya manusia sebagai pelaksananya serta sumberdaya pendukung lainnya. Jika semua itu telah siap, barulah kurikulum yang telah diuji dan dievaluasi tersebut diberlakukan secara menyeluruh.
    Bahkan akan lebih baik apabila kurikulum yang akan diberlakukan pada “tahun ini” telah dipersiapkan jauh sebelum pemberlakuannya. Misalnya, kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang akan diberlakukan mulai tahun 2020 dipersiapkan sejak sekarang dengan terlebih dahulu menguji dan mengevaluasinya, serta menyiapkan pembinaan bagi calon-calon gurunya (mahasiswa kependidikan) melalui serangkaian perkualiahan berkaitan dengan implementasi kurikulum 2020 yang akan diberlakukan nantinya yang biasanya dapat memakan waktu 4 sampai 5 tahun. Sehingga ketika mereka lulus kuliah, setidaknya mereka telah memiliki penguasaan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan khusus dalam penerapan kurikulum 2020 tersebut.

“Pendidikan jangan sampai hanya terbelenggu dengan kurikulum, wujudkan kembali kurikulum sesuai konstitusi yang ada yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan hanya mengikuti permintaan pasar”